Untuk apa sih menulis?
Assalaamu’alaikum wr wb
Saya pernah mendapatkan pertanyaan seperti judul yang saya gunakan untuk tulisan kali ini. Penanya tersebut menurut saya sudah tepat menanyakan demikian. Why? Karena seharusnya setiap melakukan sesuatu kita memiliki niat dan tujuan yang jelas. Bisa tergambar, bisa dikerjakan, dan bisa menghasilkan serta bermanfaat. Itu sebabnya, sebagaimana kegiatan lainnya, menulis juga pasti ada tujuannya. Setiap orang bisa saja berbeda cara pandang dalam menentukan motivasi dan tujuan menulisnya. Maka, setiap kali saya mengajar kelas menulis atau mengisi workshop menulis maupun yang lebih spesifik seperti jurnalistik, yang pertama kali saya sampaikan kepada peserta adalah: “Apa sih motivasi Anda menulis?” Selain saya ingin mengukur minat yang mereka inginkan, juga agar saya bisa urun rembug memberikan sedikit sharing agar niat dan tujuan menulis tidak sia-sia atau tidak hanya mandeg pada tataran yang sangat sederhana atau bahkan ‘sampah’.
Nah, jawaban saya untuk pertanyaan sesuai judul artikel ini adalah: menulis ditujukan untuk BERBAGI. Memberi manfaat kepada pembaca agar mereka bisa merasakan nikmatnya pengetahuan. Berbagi itu indah. Apa sajalah, pasti kita senang juga ketika memberi kebahagiaan kepada orang lain. Ada sebuah pesan yang menarik, “Jika ilmu yang Anda pelajari dari saya dapat berguna untuk diri Anda, maka tolong berbagilah kepada orang lain agar orang lain pun dapat memetik manfaat dari ilmu tersebut,” demikian pesan Milton Erickson pada murid terbaiknya, Stephen Gilligan, PhD. Siapa Milton Erickson dan siapa pula Stephen Gilligan? Bagi Anda yang peminat atau praktisi hynotherapy atau juga Neuro-Linguistic Programming, pastinya mengenal guru dan murid di bidang tersebut. Ini sekadar contoh saja.
Dalam Islam, kita sudah diberikan tuntunan. Dakwah salah satunya. Dakwah itu adalah bentuk kepedulian. Menyampaikan informasi dan pengetahuan itu terasa indah dan menyenangkan. Menulis, adalah salah satu cara untuk mendukung terlaksananya dakwah. Andai saja tak ada orang yang mau berdakwah, mungkin akan banyak manusia di bumi ini yang tersesat di jalan kehidupan. Jika tak ada guru yang mengajarkan banyak ilmu, mungkin tak akan banyak orang-orang cerdas dan terpelajar di dunia ini. Mungkin saja jika orang tua kita tidak mendidik kita tentang kepribadian dan etika, akan banyak hadir di dunia ini anak-anak yang tak beradab. Indahnya berbagi.
Menulis pun bagi kita semestinya diniatkan untuk berbagi. Ya, sekemampuan kita. Sebab, adakalanya untuk menjelaskan sesuatu kita butuh detil dan pemaparan fakta. Dan, itu tentunya harus dituliskan. Bukan dikatakan. Bahkan bila perlu dilukiskan dengan rangkaian kata yang indah untuk menjelaskan suatu definisi atau makna. Tulisan pun akan lebih awet dan bisa dipindah-pindah dengan mudah, dicetak dan disebar sebanyak mungkin melalui berbagai media penyampai pesan. Di era digital saat ini, tulisan bisa diproduksi dengan massal, bertebaran di internet, di surat kabar, di majalah dan ribuan buku. Jutaan para penulis lahir dari generasi ke generasi, berbilang tahun dan abad. Subhanallah, hadis-hadis Rasulullah saw. sampai kepada kita. Kita bisa membacanya melalui riwayat yang disampaikan berabad-abad lamanya. Dibacakan, ditulis, dibacakan lagi, ditulis lagi. Begitu seterusnya. Kita, generasi mutaakhirin, tetap harus merasa bangga, karena ilmu banyak hadir. Karya Imam Bukhari masih bisa kita baca. Padahal, penulisnya sudah ratusan tahun lalu meninggalkan dunia ini. Menulis, memiliki kekuatan tersendiri untuk berbagi ilmu pengetahuan dan mendukung dakwah.
Saya insya Allah merasa yakin bahwa motivasi menulis para ulama adalah menggapai pahala. Para ulama terdahulu senantiasa memohon pertolongan kepada Allah Swt. sebelum menulis karya-karya mereka. Dalam beberapa kisah bahkan para ulama itu menulis dalam keadaan bersuci. Banyak di antara mereka yang melakukan shalat sunnah terlebih dahulu untuk menuliskan ilmunya. Subhanallah, pantas saja ilmu mereka barokah. Pantas saja karya mereka bermanfaat dan mencerahkan pembacanya hingga kini. Kita wajib iri dengan karya-karya para ulama. Apa yang akan kita wariskan bagi kaum muslimin saat kita sudah tak ada dunia ini lagi? Apa yang akan kita titipkan untuk anak-cucu kita jika kita tak mencoba untuk meninggalkan sebuah saja karya tulis kita yang bisa dibaca dan menginspirasi banyak manusia untuk mengenal Islam? Siapa tahu, yang satu tulisan itu pahalanya terus mengalir sebagai bagian dari amal jariah kita untuk kemaslahatan umat. Apalagi, jika kita berhasil menuliskannya dalam sebuah buku, belasan, puluhan atau bahkan ratusan buku yang bermanfaat. Subhanallah, pasti bahagianya kita karena telah berbagi dengan sesama. Semoga kita bisa meneladani para ulama yang berkarya lewat tulisan.
Sahabat, satu hal yang mungkin perlu menjadi perhatian kita adalah soal NIAT. Jika kita menulis diniatkan untuk semata mencari popularitas dan decak kagum pembaca, tolong diluruskan niat itu. Jika kita menulis diniatkan untuk semata mencari harta, sepertinya perlu dipoles lagi keikhlasan kita. Yakinlah sahabat, ketenaran dan memiliki materi itu adalah efek samping saja dari kegiatan kita menulis. Allah Swt. sudah memberikan rejeki bagi makhlukNya sesuai keputusanNya, kok. Tak usah pusing. Karena kita hanya diminta untuk mencarinya, yang kadang itu pun datangnya bukan dari pekerjaan yang kita geluti. Dan, perlu dicetak tebal dalam ingatan kita bahwa rejeki tak selalu berarti materi. Kesehatan, ilmu, banyaknya teman, keluarga, waktu luang, bisa berdakwah, dan lain sebagianya yang bermanfaat bagi kita, adalah bagian dari rejeki juga. Insya Allah. Hal itu juga adalah nikmat yang bisa kita rasakan sebagai bagian dari rejeki.
Dengan demikian, “untuk apa kita menulis?” Ya, untuk beribadah, berdakwah, berjuang, dan berbagi dengan sesama. Bagi saya, menulis adalah perjuangan. Teruslah menulis jika ingin tetap berjuang. Tetap semangat dan jangan berhenti menulis. Teruslah menulis, meskipun profesi penulis tak segemerlap selebritis. Baik dari ketenaran, apalagi penghasilan. Kata seorang kawan yang sama-sama penulis sering berseloroh, “Kita-kita ini insya Allah kuat pendapatnya (termasuk dalam menulis), yang nggak kuat adalah pendapatannya”. Tetapi, tetaplah tegar di jalan dakwah. Dan, tetaplah menulis menjadi bagian dari keterampilan yang harus kita miliki untuk membantu dakwah.
Salam perjuangan dan kemenangan ideologi Islam,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar